Friday, October 10, 2008

BATAK Kesasar..??!?

Demikian julukan yang diberikan kepada seorang halak hita, jika tidak dapat menguraikan secara jelas mengenai keturunan nenek moyangnya dalam suatu marga. Dan pada umumnya orang tersebut akan sulit diterima oleh teman semarganya, karena kurang mengetahui, bagaimana posisi derajatnya dalam marga, agar teman semarganya tahu bertutur kata degannya apakah memanggil Abang atau Adik, atau memanggilnya dengan Ompung (nenek), amangtua (pak de), amanguda (pak lik).

DISINILAH terasa betapa pentingnya arti tarombo atau silsilah dalam masyarakat Batak. Hal ini juga diakui oleh para ahli bangsa lain seperti J.C. Vergouwen misalnya, bahwa tarombo inilah yang merupakan identitas orang Batak.

Setiap orang Batak harus tahu posisinya dalam silsilah nenek moyangnya. Malah ada beberapa pakar antropologi yang menyatakan “tarombo” merupakan salah satu ciri istimewa maryarakat Batak, yang tidak dimiliki oleh masyarakat lain baik di manca negara.

Dengan demikian tarombo setiap marga dalam masyarakat Batak apakah secara akurat dipahami oleh warganya? Sulit memang menjawabnya secara pasti.

Sebab pada kenyataan yang dihadapi, hampir setiap marga yang ada di masyarakat Batak sering ada perbedaan tarombo. Sering ada lebih dari satu versi tarombo atau silsilah dalam satu marga, atau dalam satu rumpun marga yang lebih besar.

Tak jarang terjadi sengketa hanya memperebutkan status “sihahaan” (Abang) dalam suatu marga, karena masing-masing misalnya mempertahankan versi tarombo yang diketahuinya. Masing-masing pihak mempertahankan bahwa tarombonya yang paling benar.

Yah, kadang kala sengketa itu dapat diselesaikan jika masih bisa dipecahkan oleh Raja Adat Parmargaon, atau ada bukti-bukti nyata yang mendukung keabsahan suatu tarombo.

Sulit memang menguji silsilah atau tarombo mana yang paling akurat dalam masyarakat Batak, karena sejak dulu tarombo itu selalu diturunkan dengan lisan oleh para orangtua kepada anak-anaknya.

Secara garis besar bisa sama atau karena pengakuan bersama. Sedang secara tertulis belum ada tarombo sejak tempo dulu, baru ada setelah abab ke 20.

Walaupun demikian pada jaman “hasipelebeguon” (animisme) dahulu, karena tidak ada kata dokumen otentik mengenai tarombo. Pengujian tarombo sering dilakukan melalui upacara magis religius, yakni martonggo. Keluarga besar satu marga di kumpulan dan sepakat mengadakan upacara martonggo, memanggil roh nenek moyang dari alam gaib, dibawah pimpinan datu bolon (dukun sakti).

Roh nenek moyang dipanggil melalui gondang tradisional, dan roh itu masuk ke sukma seorang kerabat yang kesurupan dan bercerita tentang dirinya.

Lalu dicatat para warganya, dan dijadikan sebagai tarombo. Tapi dapatkah hal itu memang dipertanggungjawabkan secara tradisional?

“Saya kira sulit, sebab sejarah ma-sa lalu hanya bisa diketahui jika ada bukti-bukti peninggalan sejarah, apakah berupa prasasti atau daun lontar.
Jika kita merujuk pada kepustakaan antropologi kebudayaan Batak, ka-rangan J.C. Vergouwen dalam bukunya “Het rechtsleven der Toba Bataks”, terbitan tahun 1933, disitu disebutkan bahwa sistematik tarombo marga-marga pada suku Batak sifat-nya spekulatif. Selain itu bukti-bukti peninggalan silsilah tarombo belum pernah diketemukan.

Tidak ada kebenaran yang mutlak dalam tarombo orang Batak, karena tidak ada bukti-bukti tertulis secara nyata. Dan semuanya harus melalui penelitian yang sangat mendalam dan memakan waktu yang panjang, jika kita mengarah ke sana. Masih banyak memang yang harus digali untuk kesempurnaan tiap-tiap tarombo.

Jikapun dalam satu marga atau satu rumpun marga ada tarombo yang kurang “hantus” (sejelas-jelasnya); yang penting dihayati oleh warga marga tersebut, bahwa konsep marga adalah untuk bersatu. Suatu kekerabatan yang sangat mendasar melalui keturunan darah (parmudaron).

Dan yang penting disadari orang yang mengerti adat, tidak ada yang mau mengambil jambar (bagian) yang bukan haknya. Misalnya jambar sihahaan diambil oleh sianggian atau sebaliknya. Karena itu sudah merupakan pemberian Tuhan, yaitu seorang lahir sebagai sihahaan, sipitonga atau siampudan.

Itu sebabnya, dalam sistem dalihan natolu ditekankan “manat mardongantubu”. Dan salah satu ciri orang Batak yang paling istimewa adalah sikap: “metmet pe sihapor lindung dijujung do uluna”, artinya miskin, rendah pangkat atau rendah statusnya, kecil jumlah warganya, selalu dia mandiri dalam masyarakat adat.

Kalau dia status sihahaan, me-mang harus sihahaan, walaupun adik-adiknya misalnya orang-orang besar dan kolongmerat.

Menghadapi masih adanya kurang “hantus” dalam tarombo suatu marga, kita perlu berpandangan pragmatis rasional. Kelompok marga adalah persatuan berdasarkan keturunan satu darah, oleh karena itu maknanya yang utama adalah kekerabatan dalam persatuan.

Selama belum dapat kita uji dengan bukti-bukti peninggalan sejarah misalnya, ya kita terimalah per-bedaan tarombo menurut pengetahuan masing-masing tapi jangan sampai merugikan persatuan dan kesatuan.

Atau menunggu adanya kejelasan tarombo yang mendetail yang mungkin sampai puluhan tahun yang datang, apakah turunan dari satu marga tidak perlu lagi membina persatuan dan kesatuan berdasarkan keturunan darah?.

Untuk mencari kejelasan tarombo misalnya yang mungkin sampai beberapa puluh tahun lagi, kita perlu melakukan hal-hal yang positif, agar sejarah dari marga tidak mewariskan sejarah “hitam” kepada generasi penerus, ujarnya.

Nilai kebenaran silsilah nenek mo-yang marga per marga pada suku Batak masih diragukan. Oleh karena itu, menguji keabsahan tarombo yang ada pada generasi Batak sekarang tidaklah bijaksana, apalagi harus diper-debatkan.

Melihat kejadian selama ini dalam perkerabatan marga-marga yang sering mempertentangkan dan saling menguji tarombo pihak lawan hingga menjurus ke hal-hal negatif, tentu jika ada saling pengertian maka bentro-kan-bentrokan sesama saudara se-marga akan bisa dihindarkan.

Yah, marga pada dasarnya lahir dari konsep sada somba, sada raga-raga, sada guguan dan sada jambar, yang jelas menekankan kekerabatan


Source : Naimarata's Notes

No comments: